October 6, 2024

Pecahnya Perang Diponegoro yang Berlangsung Selama 5 Tahun

Penyebab Perang Diponegoro sering kali disebutkan dalam pelajaran atau buku sejarah. Nama Diponegoro merupakan seorang pemimpin perang dari para serdadu pribumi dalam peperangan melawan pasukan Belanda.

Pecahnya Perang Diponegoro secara umum merupakan bentuk perlawanan bangsa Indonesia terhadap penjajah Belanda. Pertempuran antara bangsa Indonesia dengan tentara Belanda ini berlangsung selama 5 tahun yaitu sepanjang 1825 hingga 1830.

Pada awalnya berlangsung di wilayah Yogyakarta lalu meluas ke daerah lain sekitarnya sehingga disebut juga dengan Perang Jawa. Apa penyebab utama terjadinya perang perlawanan ini? Berikut penjelasannya.

Latar Belakang Pecahnya Perang Diponegoro

Pada dasarnya latar belakang perang Diponegoro adalah karena adanya perseteruan antara Keraton Jawa dengan Belanda. Sejak kedatangan Gubernur Herman Willem Daendels pada tahun 1808 di Batavia tanah Jawa seakan terusik ketenangannya. Herman Willem Daendels sebetulnya hanya mempersiapkan Jawa sebagai basis pertahanan Prancis melawan Inggris. Dimana pada saat itu Belanda di bawah kekuasaan Prancis. Namun Gubernur Daendels menerapkan kebijakan yang tidak disukai pihak Keraton.

Diantara kebijakan itu adalah merubah etika dan tata cara upacara, membangun jalur Anyer-Panarukan, serta memaksa pihak keraton memberikan akses sumber daya alam serta manusia. Hal ini memicu terjadinya pemberontakan Raden Ronggo meskipun mengalami kekalahan. Tahun 1811 Inggris yang dipimpin Thomas Stamford Bingley Raffles datang ke tanah Jawa mengalahkan Belanda. Kemudian menyerbu Keraton Yogyakarta pada tahun 1812 hingga menyebabkan lengsernya Sultan Hamengkubuwono II.

Keraton kemudian dipimpin Sultan Hamengkubuwono III, diteruskan oleh Hamengkubuwono IV yang juga merupakan adik tiri Pangeran Diponegoro. Setelah Hamengkubuwono IV wafat, diangkatlah putera mahkota yaitu Hamengkubuwono V. Pangeran Diponegoro menjadi wali dari keponakannya itu bersama Mangkubumi. Hubungan Pangeran Diponegoro dengan Keraton jadi terpecah karena ibu Tiri (Ratu Ageng) lebih memihak Belanda yang semena-mena terhadap rakyat.

Salah satu kebijakan yang merugikan adalah pemberlakuan pajak puwasa kepada rakyat. Pada tahun 1842 bulan Oktober, Pangeran Diponegoro mengadakan pertemuan dengan para pendukungnya di Tegalrejo guna membahas rencana pemberontakan. Tujuan dari perlawanan atau pemberontakan ini adalah untuk mengembalikan hak-hak rakyat. Termasuk didalamnya membatalkan pemberlakuan pajak supaya rakyat khususnya petani hidup sejahtera bisa membeli makanan dan juga persenjataan.

Awal Mula Pecahnya Perang Diponegoro

Pada Mei 1825, Smissaert yang memerintah Yogyakarta pada waktu itu melakukan pembangunan jalan dari Yogyakarta ke Magelang. Pemasangan patok jalan Yogyakarta-Magelang melintasi makam leluhur Pangeran Diponegoro. Hal ini menimbulkan perseteruan yang menjadi awal mula pecahnya perang Diponegoro. Pangeran Diponegoro memerintahkan untuk membangun tembok sebagai pengganti patok jalan yang sekaligus merupakan pernyataan perang.

Pada 20 Juli 1825, pihak keraton mengutus dua bupati yaitu Raden Tumenggung Sindunegoro II dan Mas Ario Manduro untuk menangkap Pangeran Diponegoro. Kedua Bupati ini membawa pasukan gabungan Jawa dan Belanda berjumlah 100 orang. Perang sengit terjadi yang menyebabkan jatuhnya permukiman Pangeran ke tangan pasukan pimpinan Chevallier serta Letnan Kavaleri Jean Nicolaas de Thierry. Kediaman Pangeran Diponegoro kemudian dibakar.

Dalam pelariannya Pangeran beserta keluarga dan pasukannya tinggal di Bantul dengan Goa Selarong sebagai basisnya. Penyerangan yang terjadi di Tegalrejo menjadi permulaan pecahnya perang Diponegoro selama lima tahun. Diponegoro menjadi pemimpin masyarakat Jawa mulai dari kalangan pribumi yaitu petani hingga golongan priyayi atau bangsawan. Para bangsawann inilah yang menyumbangkan harta benda untuk pendanaan selama pemberontakan.

Sang Pangeran berhasil memobilisasi para preman di berbagai wilayah pedesaan untuk ikut berperang. Perjuangannya juga dibantu oleh Kyai Mojo yang sekaligus bertindak sebagai penasihat spiritual selama pemberontakan. Selama peperangan terjadi Sang Pangeran juga berkoordinasi dengan I.S.K.S Pakubuwono VI juga berkoordinasi dengan Raden Tumenggung Prawirodigdoyo. Keduanya adalah tokoh penting yang mendukung perjuangannya.

Dampak dari Pecahnya Perang Diponegoro

Setelah perang selesai seluruh raja dan bupati Jawa tunduk pada pemerintahan Belanda kecuali bupati Ponorogo yaitu Warok Brotodiningrat III. Beliau justru merencanakan penyerangan terhadap seluruh kantor Belanda di kota-kota karesidenan Madiun serta Jawa Tengah. Para Warok di tanah Jawa dikenal memiliki kemampuan bertarung sangat tangguh. Untuk menghindari kerugian, maka pihak Belanda membuat kantor Bupati di pusat Kota Ponorogo, serta fasilatas penunjang sebagai peredam keadaan yang memanas.

Dampak lain dari pecahnya perang Diponegoro adalah munculnya paham anti-tionghoa di tengah masyarakat Jawa. Paham ini juga dilatarbelakangi oleh intervensi kebijakan ekonomi yang dilakukan Belanda. Masyarakat Jawa dan pihak Keraton merasa keberatan atas pemberlakuan monopoli perdagangan kayu jati. Dimana monopoli ini menghilangkan pemasukan bupati-bupati dan justru masuk ke kalangan pengusaha Tionghoa.

Kebijakan Raffles yang mengambil pajak berupa uang tunai dari petani menyebabkan para petani harus berhutang kepada masyarakat Tionghoa. Kemudian berlanjut pada kebijakan monopoli gerbang cukai yang memberatkan petani sebagai pekerja bagi masyarakat Tionghoa. Hingga puncaknya adalah penyerangan terhadap etnis Tionghoa di wilayah Jawa Tengah dan Jawa Timur. Bahkan jauh setelah perang berakhir kerukunan masyarakat Tionghoa dengan pribumi tidak dapat kembali utuh seperti semula akibat trauma.

Satu hal yang menarik, perang ini juga disebut sebagai perang Sabil karena dianggap sebagai bentuk jihad terhadap Belanda dan orang-orang murtad. Sehingga tidak salah jika pecahnya perang Diponegoro juga dikaitkan dengan nilai-nilai religius.